Saturday, July 20, 2013

Jokowi


Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (kiri-kanan) mejalankan menjalankan Sholat Idul Adha 1433 H di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Jumat (26/10/2012). Pada sholat ini yang menjadi Khatib adalah Abd. Ala, Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya dengan memberikan ceramah spirit berkurban untuk negara, sementara Hasanuddin Sinaga menjadi imamnya. | TodaysNewsOurTakeCopperExclusiveHowt.blogspot.com IMAGES/VITALIS YOGI TRISNA


Dari hari ke hari, tampaknya semakin jelas siapa yang diinginkan rakyat Indonesia untuk menjadi presiden di tahun 2014. Di kalangan partai politik, nama Jokowi coba "dikesampingkan" ketika mereka bicara soal presiden, tetapi nama ini secara tidak sadar berada di benak mereka. Bagi rakyat banyak-yang tampak dari media maupun jajak pendapat-terus mengusung Gubernur DKI Jakarta ini untuk mau dicalonkan atau mencalonkan diri. Memang masih ada berbagai "ujian" bagi Jokowi untuk melihat apakah namanya akan terus berkibar sampai menjelang pemilihan tahun depan. Ujian terbesar tampaknya akan terjadi pada pemilu, apakah partainya, PDI-P, mendapatkan suara cukup besar, di atas threshold sehingga bisa mengusulkan calon presiden dan calon wakil presiden tanpa bergantung pada partai lain. Karena "pilihan" rakyat sudah semakin jelas, yang lebih penting sekarang adalah mencari calon wakil presiden yang ideal untuk mendampingi Jokowi. Menurut saya, calon ideal tersebut adalah mantan wakil presiden semasa pemerintahan SBY yang pertama, Jusuf Kalla. Ada tiga alasan menurut saya mengapa Jusuf Kalla paling pantas. Masalahnya adalah apakah Jusuf Kalla bersedia bagi jabatan tersebut karena setelah menjadi wakil presiden, tokoh asal Sulawesi Selatan ini mencalonkan diri sebagai presiden walau kemudian kalah dari Presiden SBY. Pertama, pengaruh Jusuf Kalla (JK) di Golkar masih besar. Guna mendampingi Jokowi, banyak orang juga mengusulkan kemungkinan Jokowi berpasangan dengan Dahlan Iskan (Menteri BUMN) atau Mahfud MD (mantan ketua Mahkamah Konstitusi). Menurut saya, guna mendampingi Jokowi diperlukan seorang tokoh yang berasal dari partai besar. Walau Jusuf Kalla sudah tidak lagi menduduki jabatan apapun di Golkar, karena pernah menjadi ketua partai berlambang beringin tersebut, ia pasti menyisakan pengaruh. Dahlan Iskan dan Mahfud MD tidak memiliki dukungan partai politik cukup kuat. Golkar sudah dipastikan akan mencalonkan ketuanya yang sekarang Aburizal Bakrie, tetapi kepopuleran Ical sejauh ini membuatnya sulit untuk terpilih karena berbagai bisnis masa lalunya, seperti kasus Lapindo. Beban yang dibawa oleh Jusuf Kalla lebih kecil dibandingkan apa yang disandang oleh Aburizal Bakrie. Bila JK mendampingi Jokowi, nantinya di DPR, JK akan bisa menggunakan pengaruhnya di masa lalu untuk membantu pemerintahan. Kedua, pengalaman JK sebagai wakil presiden. Selain keinginan beberapa kalangan agar Jokowi berkonsentrasi dulu mengurus DKI, lawan politik sudah mengungkapkan apakah Jokowi memiliki pengalaman cukup untuk melakukan negosiasi dengan berbagai partai atau juga mewakili Indonesia di tingkat internasional. Di sini kembali Jusuf Kalla bisa berperan menjadi mentor Jokowi dalam berbagai urusan ini karena JK sebelumnya pernah lima tahun menjadi wakil presiden. Dalam masa pemerintahan SBY-Kalla, peran Ketua PMI ini hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh Wakil Gubernur DKI Basuki (Ahok). Jusuf Kalla dan Ahok tidak sekadar menjadi ban serep, tetapi terlihat sangat aktif bekerja untuk menyelesaikan masalah yang ada. Tidak diragukan bahwa kerja dua orang akan memberi hasil lebih baik dari satu orang saja. Ketiga, duet Jokowi-JK adalah duet sipil. Di zaman Soeharto, Golkar dan PDI-P adalah partai yang berseberangan ideologi. Namun, di zaman reformasi ataupun di Pemilihan Presiden 2014, Jokowi bisa menggandeng Jusuf Kalla (yang mewakili unsur Golkar) karena "lawan" yang mereka hadapi adalah partai berlatar belakang "militer" Hanura (Wiranto), Gerindra (Probowo), dan Demokrat (bila mereka mencalonkan Pramono Edhie). Sebagai partai sekuler, PDI-P dan Golkar juga menghadapi partai-partai dengan latar belakang Islam, seperti PKS, PPP, PBB atau PKB. Faktor ketiga ini tidaklah penting-penting sekali. Namun, setelah Presiden SBY (dengan latar belakang militer) menjabat dua kali, sekarang ini untuk pertama kalinya Indonesia memiliki calon presiden dengan latar belakang sipil yang kuat. Saya mengusulkan kombinasi Jokowi-Jusuf Kalla. Apakah kombinasi ini bisa di balik dengan kombinasi Jusuf Kalla-Jokowi? Ini bisa saja terjadi, tetapi faktor Jokowi akan ditentukan oleh keberhasilan PDI-P dalam meraih suara di pemilu, bukan faktor Jusuf Kalla di Golkar. Bila PDIP mengusung Jokowi sebagai juru kampanye dan partai kepala banteng ini mendapatkan suara melebihi threshold, desakan rakyat terhadap PDI-P untuk memilih mantan Wali Kota Solo tersebut akan sangat kuat. Kalau kemudian Jokowi bersedia jadi calon presiden, dia memiliki kuasa besar untuk melakukan pilihan sendiri. L Sastra Wijaya, koresponden TodaysNewsOurTakeCopperExclusiveHowt.blogspot.com di Adelaide, Australia.


Editor : Egidius Patnistik


No comments:

Post a Comment